Rabu, 15 April 2015

DIVERSIPIKASI PERIKANAN

1.    PENDAHULUAN

Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton pertahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Di samping itu juga terdapat potensi perikanan lain yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu (a) perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta ha memiliki potensi produksi 0,9 juta ton per tahun; (b) budidaya laut yang meliputi budidaya ikan, budidaya moluska dan budidaya rumput laut; (c) budidaya air payau dengan potensi lahan pengembangan sekitar 913.000 ha; (d) budidaya air tawar meliputi budidaya di perairan umum, budidaya di kolam air tawar dan budidaya mina padi di sawah; serta (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik, pangan, pakan dan produk-produk non-konsumsi (Departemen Kelautan danPerikanan, 2005).
Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Sedangkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton. Produksi perikanan budidaya didominasi oleh udang 327.260 ton, rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila 227.000 ton, ikan lele 94.160 ton, gurameh 35.570 ton dan kerapu 8.430 ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2007).
Potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh Indonesia tersebut dan produksi yang dihasilkannya menunjukkan bahwa perikanan memiliki potensi yang baik untuk berkontribusi di dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani; di samping kontribusinya dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.





2.    ISI

2.1 Sejarah Nugget
Nugget yang pertama dibuat adalah dari daging ayam. Nugget merupakan produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dan dilapisi dengan tepung roti. Nugget ayam merupakan produk daging yang diciptakan pada tahun 1950 oleh Robert C. Baker, seorang profesor ilmu makanan di Universitas Cornell, dan diterbitkan sebagai karya akademis yang merupakan sebuah inovas. Resep untuk McDonald's Chicken McNuggets diciptakan dari McDonald's oleh Tyson Foods tahun 1979 dan mulai dijual pada tahun 1980
Karena permintaan pasar mulai bertambah maka terciptalah berbagai jenis nugget. seperti nugget yang ada di Azka Healthy Nugget. Nuget adalah makanan yang berprotein tinggi yang biasanya terbuat dari daging yang mengandung protein hewani ataupun dari biji-bijian yang mengandung protein nabati. Nuget merupakan makanan yang lezat dengan bahan campuran tepung tapioka dan telur, serta bahan rempah-rempah serta garam sebagai penyedap ( Rehman, 2007).
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengolahan ikan perlu diketahui oleh masyarakat. Untuk mendapatakan hasil olahan yang bermutu tinggi diperlukan perlakuan yang baik selama proses pengolahan, seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih segar, serta garam yang bersih. Manfaat mengkonsumsi ikan sudah banyak diketahui orang karena ikan merupakan makanan utama dalam lauk sehari-hari yang memberikan efek awet muda dan harapan untuk hidup lebih tinggi dari negara yang lain.
Produk nugget yang beredar di pasaran umumnya berbahan dasar daging ayam. Daging ayam tersebut memiliki kadar lemak yang tinggi dan harganya tergolong mahal. Oleh karena itu, konsumen mulai menyadari sumber protein alternatif, yaitu daging ikan karena memiliki kadar lemak rendah, kadar protein yang tinggi dan harganya lebih terjangkau. Dilihat dari perkembangan zaman dengan meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk chicken nugget, maka dilakukan usaha diversifikasi pada produk perikanan yaitu fish nugget (Yulianingsih, 2005).
Fish nugget adalah salah satu bentuk produk olahan daging ikan giling dan diberi bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk-bentuk tertentu, selanjutnya dilumuri tepung roti dan digoreng. Dimana produk ini diharapkan dapat mempunyai pasaran yang cukup baik terutama bagi masyarakat yang umumnya lebih menyukai produk makanan praktis dan cepat saji (Mesra, 1994 diacu dalam Yulianingsih, 2005)

2.2     Batasan Produk Gel Nugget
Batasan produk gel nugget Menurut Taub dan Singh (1998) protein terdenaturasi pada suhu beku disebabkan karena faktor : 1). perubahan kandungan air, 2). perubahan lemak pada ikan dan 3) aktivitas enzim trimethylamin oksidase (TMAO-ase). Selanjutnya Djazuli et al (2001) menyatakan bahwa denaturasi dapat diartikan sebagai proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dengan ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul. Perusakan asam amino dan denaturasi protein menyebabkan meningkatnya nilai pH dengan terlepasnya N dan hilangnya air.
Penurunan kadar lemak pada penyimpanan beku satu dan dua bulan (B1dan B2). Menurut Syartiwidya (2003) menyatakan bahwa pada nugget yang disimpan beku, perubahan mikrostruktur yang terjadi selama penyimpanan terlihat rongga-rongga sebagian membentuk parit atau saluran, sehingga air atau lemak akan mudah mengalir keluar nugget saat thawing. Hidrolisa akibat enzim lipolitik akan berlangsung lambat pada suhu rendah tetapi tidak terhenti. Aktifitas enzim akan dapat dicegah aktifitasnya pada kisaran suhu -20 sampai 300C.Enzim lipase masih aktif mengadakan hidrolisa lemak meski suhunya -290C. Enzim lipase dapat aktif pada suhu rendah dan beku karena mempunyai energi aktifitas yang rendah (Borgstrom , 1969 dan Hadiwiyoto, 1993).
Stansby (1963) menyatakan jumlah air yang dilepaskan dipengaruhi oleh lama pembekuan, suhu pembekuan dan suhu pencairan. Semakin lama penyimpanan beku semakin banyak air yang dilepaskan. Jumlah air yang dilepaskan kira-kira 1 – 20 %. Penurunan ini ada hubungannya dengan WHC, diduga berkurangnya sifat hidrofilitas sehingga menurunkan kemampuan mengikat air karena proses pencucian terjadi pengurangan air dan pada saat penyimpanan terjadi denaaturasi protein yang menyebabkan berkurangnya gugus hidrofilik
Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap. Besarnya kadar abu pada produk nugget, diduga karena bahan baku yang digunakan adalah bahan pangan hewani yang cukup tinggi kandungan abunya. Sudarmaji et al (1989) menyatakan bahwa makanan yang berasal dari hewani mengandung kadar abu yang tinggi, hal ini disebabkan oleh kandungan beberapa mineral seperti kalsium, besi dan fosfor.
            Nilai pH suatu bahan makanan menunjukkan derajat keasaman makanan. Nilai pH pada makanan akan mempengaruhi mikroorganisme yang dapat tumbuh. Jasad renik yang dapat tumbuh pada kisaran pH 3 - 6 (Fardiaz, 1989).
Pengukuran TVN (Total Volatile Nitrogen) pada produk nugget digunakan sebagai petunjuk adanya kebusukan bahan makanan yang mengandung protein. Pola peningkatan nilai TVN berhubungan dengan kegiatan bakteri proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa protein yang lebih sederhana danmenguraikan TMAO (Trimetil Amin Oksida) menjadi TMA (Trimetil Amin). Semakin tinggi aktifitas bakteri maka semakin tinggi nilai TVN. Penyimpanan beku dapat mempengaruhi nilai TVN. Penurunan suhu menyebabkan enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau lebih mendekati inaktifasi enzim, hal ini menyebabkan proses penguraian senyawa protein menjadi senyawa yang lebih sederhana terhambat. Terhambatnya proses tersebut menyebabkan terhentinya atau melambatnya produksi senyawa-senyawa asam amino volatil.
Untuk menghambat tumbuhnya bakteri dalam jangka waktu yang lama, diperlukan suhu -120C sampai -180C. Penyimpanan beku nugget menggunakan suhu -180C, mendukung penghambatan pertumbuhan mikroorganisme pada nugget daging merah tuna. Pembekuan dapat membunuh sebagian mikroba di dalam produk, tetapi tidak seluruhnya (Winarno dan Betty, 1982).
Bilangan peroksida merupakan pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan melalui reaksi oksidasi oleh peroksida dalam lemak/minyak pada suhu ruang di dalam medium asam asetat/kloroform (Apriyantono, et al. 1989). Bilangan peroksida mudah ditentukan kadarnya pada lemak. Bilangan peroksida sering digunakan untuk mengukur perkembangan oksidasi dalam produk yang mengandung lemak (de Man, 1997).
Pengukuran asam tiobarbiturat ini dilakukan untuk mengetahui adanya
reaksi lebih lanjut pada lemak yang menyebabkan ketengikan pada nugget. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan.
            Kadar histamin yang terbentuk selama penelitian masih memenuhi nilai lebih rendah batas maksimum yaitu : 5 mg/100g (50 ppm) sesuai dengan FDA (1998). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku dan reaktif dengan sangat cepat setelah thawing (FDA, 1998). Histamin dapat terakumulasi didalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan.

2.3 Mekanisme Pembentukan Gel Nugget
Gel strength diperoleh dengan adanya protein myofibril yang saling berikatan membentu k ikatan serabut jala yang kuat. Dimana kadar protein myosin dan actin sangat penting ada pada Nuget .Gel yang terbentuk oleh protein ikan terjadi pada saat pencampuran garam dalam lumatan daging. Menurut Lee (1984), gel suwari terbentuk tidak hanya melalui hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik dan molekul protein miofibril. Setting pada suhu rendah (20 - 40 oC) akan membentuk ikatan hidrogen dalam gel, sedangkan ikatan hidrofobik akan mendominasi gel yang dibentuk dengan setting pada suhu tinggi (50 - 90 oC).
Langkah-langkah pemrosesan utama yang terlibat dalam pembuatan nugget tahu yaitu meliputi:
1.      Pengupasan bawang
2.      Penggilingan bawang dan lada serta penghalusan daging ikan nila.
3.       Penimbangan Bahan ( penimbangan tapioka dan ikan nila sesuai perlakuan)
4.      Pencampuran bahan ( seluruh bahan yaitu telur, tapioka, ikan nila, dan bumbu giling)
5.      Pengadonan bahan hingga merata
6.      Cetakan di olesi margarin dan adonan di masukkan
7.      Adonan di kukus selama 30 menit dan 20 menit
8.      Adonan yang telah di kukus di potong memanjang (setelah di dinginkan)
9.      Potongan nuget di lumuri telur
10.    Potongan nuget di gulingkan pada tepung roti
11.    Nuget di goreng hingga kecoklatan dan di tiriskan

Gambar 1. Proses pembentukan gel

2.3              Faktor-Faktor Penentu kualitas Produk Gel ikan
Faktor-faktor yeng mempengaruhi pembentukan gel (elastisitas) dari pasta ikan adalah:
- Kesegaran ikan. Apabila kesegaran ikan rendah maka nilai elastisitasnya akan rendah, hal ini disebabkan karena denaturasi-protein daging ikan berkurang kelarutannya.
- Jenis ikan. Distribusi protein miofibril dan sarkoplasmik dalam jaringan otot berbeda-beda pada setiap jenis ikan, sehingga dihasilkan elastisitas yang berbeda pula. Jenis ikan yang baik untuk pembentukan gel'adalah jenis ikan yang mengandung lemak paling rendah dan berdaging putih.
- pH. Kelarutan protein ikan akan menjadi lebih besar dekat titik netral, oleh karena itu miosin akan lebih mudah larut pada pH 6,5-7,0.
- NaCl. Penambahan natrium klorida pada pasta ikan selain sebagai bumbu juga untuk melarutkan aktomiosin agar terbentuk gel dengan alastisitas baik.
- Pemanasan. Elastisitas dari pasta daging diperoleh melalui pemanasan pada suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat lebih kuat dibandingkan dengan pada suhu rendah dengan waktu yang lama,
Jika menggunakan surimi, Surimi yang bermutu tinggi harus berasal dari bahan baku yang segar, dimana protein yang terkandung dalam ikan tidak mengalami denaturasi. Terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan beku didugakarenaadanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada fasesebelum terjadi pembekuan di dalam sel. Konsentrasi garam mineral menjadisangat tinggi apabila cairan dalam sel membeku, sehingga menyebabkanterjadinya pemisahan dan denaturasi protein (Suzuki, 1981)
Masalah yang sering terjadi adalah nilai kekuatan gel pada surimi menurun seiring dengan adanya lama waktu penyimpanan dan suhu penyimpanan. Menurunnya nilai kekuatan gel mengindikasikan menurunnya mutu surimi dan penerimaan konsumen manjadi menurun. Uju (2006), menyatakan penyimpanan surimi selama 4 minggu pada suhu -5oC diketahui nilai kekuatan gel nya lebih rendah dibanding dengan penyimpanan pada suhu -18oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi dari kualitas surimi. Surimi dalam penyimpanan suhu -18oC kadar protein myofibril masih dapat dijaga dari kondisi terdegradasi, dibandingkan dengan suhu -5oC dimana protein myofibril berkurang sebesar 19,12%.
            Faktor yang menentukan kualiatas produk gel ikan yaitu Bahan tambahan pangan , waktu penyimpanan, suhu penyimpanan dan metode pencucian.

2.5 Parameter Penguji Mutu Gel Ikan
Parameter mutu utama kamaboko seperti halnya produk-produk turunan surimi lainnya adalah elastisitas dan kekerasan (Sa’adah, 2007). Elastisitas dan kekerasan kamaboko tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan binding agent (bahan pengikat). Bahan pengikat yang biasa digunakan pada produk daging antara lain tepung terigu, tepung tapioka, tepung kentang, tepung garut, tepung sagu dan tepung jagung. Sa’adah (2007) melaporkan penelitian tentang kombinasi tepung terigu dan tepung tapioka pada kamaboko ikan Manyung, hanya berpengaruh pada kadar protein tetapi tidak berpengaruh terhadap mutu gel (kekerasan dan elastisitas), kadar air, dan tingkat kesukaaan konsumen (warna, bau, rasa, dan tingkat kesukaan keseluruhan).
Adapun parameter pengujian mutu produk nuget yaitu meliputi ;
a.       Rasa
b.      Aroma
c.       Tekstur
d.      Kenampakan
e.       Uji gigit
f.       Uji lipat

2.6 Teknologi Pembuatan Produk Gel Nugget
Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan Mc Clements (2005), kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Terdapat empat tipe ikatan utama yang
berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu : ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik (Niwa 1992).
Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan aseptorproton, sedangkan glutamin dan asparagin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai aseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan (Niwa 1992).
Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 oC (Niwa 1992). Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein. Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).
Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan,maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk melalui hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan hidrogen dan hidrofobik pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwariterjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 oC. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga 50-60 oC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomenaini disebut dengan modori. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi.







3.    KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan
Nugget yang pertama dibuat adalah dari daging ayam. Nugget merupakan produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dan dilapisi dengan tepung roti. Produk nugget yang beredar di pasaran umumnya berbahan dasar daging ayam. Daging ayam tersebut memiliki kadar lemak yang tinggi dan harganya tergolong mahal maka dilakukan usaha diversifikasi pada produk perikanan yaitu fish nugget.
3.2  Saran
Pada pembuatan produk nugget ikan diperlukan pengembangan produk dengan berbagai macam inovasi agar lebih menarik minat konsumen serta perlu adanya peningkatan mutu dari gel ikan agar tercipta produk nugget yang memiliki kualitas baik.


















DAFTAR PUSTAKA

Anonim.Pengolahan Surimi dan Produk Fish Jelly. BPPMHP, Jakarta.

Borgstrom, G., 1965. Fish as Food. Volume IV Part 2. Academic Press, Inc. Fardiaz, D. Kamaboko Produk Olahan Ikan yang Berpotensi untuk Dikembangkan. Media Teknologi Pangan. Vol 1 (2). Bogor.

De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB. Bandung.

Djazuli, N., Sutimantoro, A. Chaidir, T. Istihastuti dan Widarto, 2001. Teknologi
FDA (Foof and Drug Administrations’s). 2 (Ed) : U.S. Food and Drug Administrations. Parklawn Drive Rockville. MD 20857.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.

Learson, R.J. and J.D. Kaylor. 1990. Pelagic Fish. In The Sea Food Industry. Editor. R.E. Martin and G.J. Flick. Van Nastrand. New York.

Stanby, M. 1963. Industry Fishery Technology. Reinhold Publishing Corp. Washington.

Sudarmaji, S., Horyono B.S dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : PAU Pangan & Gizi, UGM.

Syartiwidya, 2003. Kajian Tekstur dan Perubahan Mikrostruktur Nugget Ikan Selama Pengolahan dan Penyimpanan. Tesis. Program Pascasarjana,cInstitut Pertanian Bogor. Bogor.

Taub, I.A. and R.P. Singh , 1998. Food Sotrage Stability. CRC Press. New York.

Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar